WiMax, Jangan Terhadang Regulasi (Lagi)

Keputusan pemerintah untuk menunda penerapan Long Term Evolution (LTE) boleh dibilang keputusan yang bijak setelah nasib Worldwide Interoperability for Microwave Access (WiMax) terkatung-katung hingga seperti hidup segan mati pun enggan.

Layu sebelum berkembang, itu lah kata-kata yang tepat untuk WiMax yang di awal kemunculannya pada sekitar 2005 di Indonesia sangat fenomenal dan digadang-gadang bakal menggantikan peran seluler sebagai sarana komunikasi massal berbasis data atau Internet.

Nyatanya, sejak pengumuman pemenang tender WiMax di pita 2,3 GHz pada Juli 2009, layanan berteknologi tinggi itu tak pernah menghampiri masyarakat pengguna Internet di Indonesia. Jangankan mewujudkan mimpi menjadikan Wimax sebagai komunikasi mobile sehari-hari, menjadikannya sebagai backbone pun jauh panggang dari api.

Mengapa demikian? Konon, banyak kepentingan yang bermain di balik perkembangan WiMax di Indonesia. Tentunya yang berkepentingan itu adalah para operator seluler 3G dan vendor perangkat telekomunikasi.

Meski berulangkali Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) Sarwoto Atmosutarno memastikan tidak ada intervensi dari operator 3G terhadap kebijakan WiMax, tapi sulitnya implementasi WiMax komersial membuat dugaan tersebut tetap ada.

Menurut dia, perkembangan ke depan sangat tergantung kepada kesiapan, ketersediaan, dan keterjangkauan harga dari terminal pelanggan, content, dan kesiapan jaringan operator yang bisa menjangkau seluruh potensi populasi dengan bandwidth yang tidak terbatas. “Kalau melihat ini operator seluler 3G paling siap.”

Bila dilihat dari sisi regulasi, pemerintah memang seakan menganaktirikan teknologi WiMax. Dimulai dari alokasi kanal di mana sebanyak 15 MHz untuk 15 zona pita 2,3 GHz akan dimanfaatkan untuk WiMax 16d. Dari 15 MHz tersebut akan terbagi dalam kanalisasi selebar 3,75 MHz ditambah guard band.

Sementara vendor WiMax hanya akan memproduksi peranti end user untuk kanalisasi 2,5 MHz dan 5 Mhz secara massal.

Apabila pemerintah tetap jalan dengan kanalisasi WiMax 3,75 MHz, yang bisa mengambil keuntungan adalah operator 3G yang bisa menawarkan harga lebih murah karena investasinya rendah.

Selanjutnya, masalah kewajiban tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di WiMax berlaku ketat pada perangkat jaringan dan customer premises equipment (CPE)-nya, sedangkan 3G ada pada belanja modal (capital expenditure/Capex).

Ketentuan TKDN pada capex sangat menguntungkan operator 3G karena pelaksanaan pekerjaan fisik bisa langsung memenuhi TKDN cukup signifikan apabila memakai tenaga lokal.

Selanjutnya penentuan standard teknologi WiMax yang di awal langsung menetapkan WiMax 16d atau fixed WiMax yang tidak se-fleksibel dan semassal penggunaannya apabila standard yang dipakai langsung menggunakan WiMax 16e.

Perwakilan WiMax Forum di Indonesia, Sylvia W. Sumarlin menegaskan WiMax dan 3G memiliki keunggulan yang sangat menonjol karena 3G handal di teknologi penghantar suara (sebagai pioneer dalam teknologi voice), sedangkan keunggulan WiMax ada di penghantar data (pioneer di protokol Internet).

Namun, jangan lupa kalau data pun bisa menghantarkan suara lewat teknologi dan aplikasi yang saat ini sudah sangat marak, yaitu Skype, atau layanan suara pada aplikasi online messaging.

Aplikasi voice over protocol Internet (VoIP) yang relatif lebih murah, bahkan bisa gratis ini lah yang bisa menjadi pesaing utama layanan 3G.

Keberpihakan pemerintah pada WiMax diharapkan tidak hanya sekedar retorika belaka, karena yang dibutuhkan adalah kemudahan implementasi secepatnya.

Namun, kebijakan mengubah kebijakan WiMax 16d menjadi WiMax 16e di pita 2,3 GHz dinilai kurang bijaksana karena tentunya akan merugikan operator pemenang tender BWA dan vendor lokal.

Seperti diketahui, teknologi WiMax terdiri dari dua standar, yaitu 16d dan 16e. Meski dari sisi pelanggan hal itu sangat menguntungkan, karena 16e memiliki keuntungan mobile, vendor lokal menjerit karena sudah mengeluarkan investasi besar untuk membuat WiMax 16d.

Indonesia mengadopsi 16d dengan alasan untuk membangkitkan manufaktur dalam negeri karena penyedia perangkat global lebih banyak bermain di 16e.

Namun, belum lagi vendor WiMax lokal memasarkan perangkat WiMax 16d-nya, pemerintah mengubah kebijakan WiMax menjadi berstandar 16e.

Masalah perangkat

Vendor lokal dan operator WiMax existing tersebut sudah telanjur mengeluarkan investasi besar untuk membangun dan belanja perangkat WiMax 16d. Belum lagi perangkat tersebut dipakai, pemerintah sudah mengubahnya menjadi WiMax 16e, yang merupakan teknologi terbaru.

Kini, meski teknologi LTE ditunda, perubahan dari WiMax 16d ke 16e tentunya tak semudah membalikkan sebelah tangan. Karena tentu saja, masalah perangkat telekomunikasi masih menjadi kendala terbesar. Vendor lokal yang tadinya sudah bersusah payah membangun perangkat 16d, kini seperti dari nol lagi, membangun perangkat 16e.

Kebijakan WiMax 16e juga seyogyanya diikuti dengan law enforcement berupa penindakan vendor WiMax lokal yang hanya berperan sebagai distributor vendor asing dan mengabaikan TKDN.

Pemerintah juga seharusnya memeriksa perangkat operator WiMax yang menang di tender WiMax 16d apakah sudah menggunakan perangkat 16e sejak awal.

Perubahan kebijakan yang mendadak tentulah tidak menguntungkan iklim investasi. Berbeda apabila pemerintah menggelar tender lagi untuk WiMax 16e di pita 2,3 GHz di bagian bawah yang belum dipakai 16d.

Hal itu selain memberikan kesempatan operator lain atau existing untuk berkiprah di WiMax, pengguna Internet juga mendapatkan pilihan lebih leluasa. Namun, apabila kebijakan soal WiMax hanya sebatas wacana tanpa implementasi, termasuk kesiapan perangkat, maka masyarakat masih harus bersabar menikmati layanan WiMax mobile secara komersial.

No comments:

Post a Comment