Blog Planet Wifi Router is designed as a study material for menperdalam about WI-MAX technology, Wifi, Wireless Internet. May be an asset to our progress sgucci: Indonesia Juga Bangsa Maling, kok!

Sarana dan Prasarana tempat tongkrongan kedai kopi sambil belajar Dasar-dasar WIFI, Hotspot, dan dunia internet

HOT NEWS

Indonesia Juga Bangsa Maling, kok!

Orang Indonesia rame-rame menuduh Malaysia sebagai bangsa maling. Menjulukinya sebagai “Malingsia,” dan “Maling Asia.” Karena negara tersebut dianggap telah mengklaim beberapa seni budaya asal Indonesia, seperti kerajinan tangan, tari-tarian, lagu, dan sejenisnya sebagai seni budaya Malaysia. Tetapi apakah Indonesia sendiri bukan bangsa maling? Jawabnya, Indonesia juga bangsa maling, kok! Jadi, maling teriak maling, nih!?

Tidak percaya? Ini salah satu contohnya: Remy Silado, seorang pengamat musik, dramawan, dan penulis novel, mengatakan bahwa lagu yang selama ini diklaim sebagai hasil karya orang Indonesia, Kulihat Ibu Pertiwi Sedang Bersusah Hati, 100 persen hasil jiplakan atas lagu gereja yang berjudul What a Friend We Have in Jesus. Lagu himne ini aslinya diciptakan oleh Horatius Bonar pada lirik dan Charles Crozat Converse pada musik, dan dicatat hak ciptanya pada 1876 lewat Biglow & Main.

Selain itu Remy juga menulis beberapa hasil karya seni yang diklaim sebagai karya orang Indonesia, ternyata merupakan karya jiplakan. Maka Remy pun memberi saran, terutama kepada yang terlalu bersemangat meneriaki bangsa lain sebagai bangsa maling seni dan budaya Indonesia: “Sesama pencuri jangan saling mendahului” (Kompas, 06 September 2009). Lagu What a Friend We Have in Jesus memang 100 persen sama dengan Kulihat Ibu Pertiwi Sedang Bersusah Hati yang selama ini diakui sebagai hasil ciptaan dan merupakan salah satu kekayaan seni suara Indonesia.Bedanya hanya di syairnya saja Untuk meyakinkan anda, silakan simak lagu gereja dimaksud dengan mengklik ini:

Reaksi terhadap apa yang disebut pengklaiman Malaysia terhadap beberapa budaya asli Indonesia sebagai miliknya — yang terakhir tarian Pendet asal Bali, masih berlangsung sampai sekarang. Umumnya reaksi yang ada adalah reaksi yang bersifat keras, seperti kecaman-kecaman pedas, demonstrasi-demonstrasi, makian-makian (seperti mengplesetkan “Malaysia” dengan “Malingsia”), pembakaran bendera Malaysia, sweeping warga negara Malaysia, seruan pemutusan hubungan diplomatik, sampai seruan untuk perang dengan Malaysia! Yang terakhir ini termasuk seruan favorit dalam reaksi keras terhadap Malaysia.

Tak lupa dengan seruan “ganyang Malaysia!” yang begitu populer di masa konfrontasi dengan negara serumpun itu di era pemerintahan Soekarno. DPR termasuk kalangan yang (selalu) bereaksi keras menghadapi perilaku Malaysia ini. Termasuk rajin menyerukan kepada pemerintah agar segera putus hubungan diplomatik dan menyatakan perang kepada Malaysia. Sebegitu gampangkan suatu negara menyatakan perang terhadap negara lain? Tanpa memperhitungkan segala akibatnya terhadap negara dan rakyat banyak yang tanpa perang saja sudah hidup serba susah? Dan, apakah Indonesia benar-benar sudah siap untuk itu? Yakin bisa menang perang, sekalipun misalnya, Malaysia itu termasuk anggota negara-negara persemakmuran — persatuan negara-negara bekas koloni/jajahan Inggris (Commonwealth of Nations), bersama Australia, New Zealand, Papua Nugini, Singapore, dan lain-lain, yang siap membantu sesama negara persemakmuran itu apabila salah satunya diserang negara lain? Bagaimana dengan perlengkapan perang utama (alutsista) yang dimiliki Indonesia? Yang sebagian besar sudah uzur, pesawat tempur pun tanpa rudal, dan sejenisnya? Bagi Permadi, politikus dari Gerindra, hal itu bukan masalah. Pernyataan perang dengan Malaysia, katanya, tak usah memperdulikan kesiapan alat utama sistem senjata Indonesia.

“Tentara Malaysia itu tidak pernah perang kaya tentara Indonesia,” beber Permadi. … “Saya berani taruhan, dengan pisau dan bambu, tentara kita pasti menang,” imbuhnya. Selain tentara, Permadi melanjutkan, pasukan untuk menyerang Malaysia tersedia dari jutaan sukarelawan, mahasiswa hingga paranormal.(Tempo Interaktif, 31 Agustus 2009) Ini pernyataan serius atau guyonan, ya? Dalam menyikapi perilaku Malaysia tersebut kenapa sikap memamerkan otot lebih menonjol daripada otak? Apakah dengan sikap reaktif seperti ini akan membuat kita bangga, dan dunia internasional akan terkagum-kagum? Dunia internasional akan lebih menghargai sikap siapa? Indonesia yang pamer otot, atau Malaysia yang pamer otak? Kenapa otak tidak dibalas dengan otak saja?

Tidak dapat dipungkiri bahwa Malaysia dengan mengutamakan otak memanfaatkan hampir semua aspek yang ada (di negaranya) rata-rata telah lebih maju dan makmur daripada Indonesia. Potensi obyek wisatanya yang jauh lebih sedikit daripada Indonesia, tetapi karena lebih banyak menggunakan otak dengan mengoptimalkannya, maka devisa yang dihasilkannya dari sektor pariwisata jauh lebih besar daripada Indonesia. Salah satu contohnya adalah negara tersebut telah sukses menciptakan dan mengoptimalkan bidang medisnya, yang kemudian dijadikan salah satu tujuan wisawatan asing — terutama dari Indonesia — di mana orang-orang dari luar negerinya datang untuk berobat, sekaligus berwisata dan berbelanja. Malaysia sukses meniru Singapore.

Kini banyak orang Indonesia yang kalau mau berobat ke luar negeri sudah banyak yang memilih Malaysia, tidak melulu Singapore lagi. Kesuksesan tersebut tercermin pula pada data jumlah wisatawan antara kedua negara. Dari tahun ke tahun selisihnya semakin jauh.Data sampai 2007 menunjukkan jumlah wisatawan dari Indonesia ke Malaysia sebanyak 2.428.605, sedangkan dari Malaysia ke Indonesia hanya 890.903 (Kompas, 31 Agustus 2009) Paling ironis jika kita bandingkan dengan Singapore. Negara mini ini yang luas wilayahnya ratusan kali lebih kecil daripada Indonesia dengan potensi alamnya sebagai obyek pariwisata yang bisa dihitung dengan jari tangan, dibandingkan dengan Indonesia yang seolah tak terhitung potensi alamnya sebagai obyek pariwisata, yang tersebar dari ujung barat sampai ke timur, tetapi dalam hal menghasilkan devisa dari sektor pariwisata Indonesia kalah jauh! Itu karena mereka dengan segala keterbatasan sumber alamnya menggunakan otak untuk mengolahnya sedemikian rupa sehingga apa yang sebenarnya biasa-biasa saja, menjadi sangat menarik dan berhasil menyedot wisatawan asing dalam jumlah yang signifikan banyaknya. Indonesia sebaliknya.

Sumber alam potensi obyek wisata mancanegara yang begitu melimpah-ruah. Tetapi potensinya yang dimanfaatkan sangat minim sekali. Selain Bali, nyaris tidak ada obyek wisata lain yang dapat diandalkan sebagai penghasil devisa negara. Kenapa tidak melakukan introspeksi, mengapa sampai Indonesia bisa tertinggal dengan negara-negara tetangganya seperti Singapore dan Malaysia? Penyebab utamanya adalah bahwa di dalam negeri sendiri para pejabatnya lebih sibuk memperkaya diri sendiri dengan aneka kreasi korupsi dan manipulasi ketimbang mengurus negara, banyaknya oportunis politik yang saling menjegal untuk mendapat kursi empuk di eksekutif, legislatif,maupun yudikatif, hukum dan agama yang dipolitisir untuk kepentingan politik masing-masing, ketimbang mencari dan memanfaatkan sepenuhnya potensi-potensi yang dimiliki negara untuk membangun negeri ini.

Tingkat disiplin yang rendah, konflik-konflik yang kerap terjadi di dalam masyarakat dengan berbagai isu absurd seperti agama, sukuisme, dan lain-lain, dan rasa memiliki yang sangat minim. Rasa memiliki yang sangat minim inilah yang sebenarnya menjadi sumber masalah. Indonesia memang sangat kaya. Termasuk sangat kaya dengan beraneka ragam seni budayanya. Tetapi apakah orang Indonesia sendiri menghargai dan memanfaatkannya seoptimal mungkin untuk kepentingan bangsa dan negaranya sendiri? Jawabnya tidak. Terhadap orang-orang yang pada ramai-ramai berdemo dan mencaci-maki Malaysia sebagai maling seni budaya Indonesia, terakhir memaki Malaysia karena katanya mengklaim tari Pendet sebagai budayanya. Saya duga sebagian besar dari mereka justru baru tahu bahwa tari Pendet itu asalnya dari Baliketika muncul permasalahan ini.Kalu tidak ada permasalahan ini, barangkali sampai hari ini mereka tidak tahu kalau tari Pendet itu dari Bali.

Bahkan barangkali banyak pula yang baru tahu kalau ada tari yang namanya tari Pendet. Hasil Jajak Pendapat Kompas menunjukkan dari 866 responden yang berhasil dihubungi, sebagian besar mengakui hanya tahu sedikit tentang tarian (67,8 persen), musik dan lagu (68,8 persen), pakaian(67,8 persen), masakan (53,3 persen), ataupun obat-obatan tradisional (54,3 persen) yang menjadi kekayaan budaya negeri ini.(Kompas, 31 Agustus 2009) Rakyat dan pemerintahnya idem ditto, kurang sekali menghargai seni budayanya sendiri. Kompas, 31 Agustus 2009, menulis: “Indonesia hingga saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai seni budaya yang tersebar di setiap daerah. Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia secara internasional mengenai produk seni budaya masih sangat minim.
Pemerintah sudah mengimbau pemerintah daerah agar menginventarisasi seni budaya lokal yang ada di daerahnya. Namun, dari 33 provinsi yang ada di Tanah Air, baru tiga provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan DI Yogyakarta, yang melakukan inventarisasi seni budaya mereka. Hasilnya, terdapat sekitar 600 seni budaya yang ada di ketiga provinsi tersebut. …”

Seni budaya yang sedemikian banyak dan uniknya tidak dihargai, tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk dijadikan modal yang sangat bagus untuk menarik wisatawan asing sebanyak-banyaknya. Potensi yang begitu bagus dilihat Malaysia, maka bangsa Melayu yang serumpun tetapi jauh lebih proaktif dan kreatif itu pun memanfaatkannya. Kalau sudah begitu, maka meledaklah murka segenap tumpah darah Indonesia. Reaktif keras, jari telunjuk pun di arahkan ke Malaysia, sambil berseru: Maling, Malingsia! Ayo, kita duel! Perang!

Dalam soal publikasi seni budaya, ternyata Malaysia yang satu rumpun budaya dengan Indonesia sangat proaktif dengan melakukan berbagai cara. Selain melakukan promosi seni budaya melalui televisi, internet, iklan luar ruang, dan media lainnya, Malaysia juga menerbitkan buku-buku seni budaya. Selian buku terbitan pemerintah, swasta dan pemerintah kerajaan di negara bagian juga sangat antusias menerbitkan berbagai buku.(Kompas, 31 Agustus 2009)

Apakah kalau Malaysia mengiklankan beberapa seni budaya asal Indonesia dalam iklan pariwisatanya, atau menggelarkan seni budaya asal Indonesia dalam berbagai pagelaran seni di negaranya, itu berarti sama dengan Malaysia telah mengklaim bahwa seni dan budaya yang ada di iklannya tersebut adalah miliknya dan menyatakan itu bukan punya Indonesia? Saya belum membaca bahwa secara eksplisit Malaysia menyatakan dua hal itu. Bagaimana dengan ketika di Indonesia juga mengelarkan tari-tarian semacam barongsai dan tarian naga yang asal Tiongkok itu, apakah juga sama artinya Indonesia mengklaim tarian barongsai dan naga itu miliknya? Tarian barongsai dan tariannaga banyak juga diiklankan dalam iklan-iklan pariwisata dari beberapa negara, seperti Singapore dan Malaysia, tapi Tiongkok sebagai pemilik asli seni budaya tersebut tidak pernah protes.

Bagaimana dengan cerita pewayangan Mahabrata dan Ramayana, yang sebetulnya asli dari India. Kenapa Indonesia “mengklaimnya” juga sebagai bagian dari budaya Indonesia? Tapi India juga tidak pernah protes. Ada benarnya apa yang dikatakan Menteri Penerangan, Komunikasi, dan Kebudayaan Malaysia Rais Yatim, bahwa warganegara Malaysia ada yang keturunan Aceh, Sumatra Barat, Mandailing, Riau, Jambi, Palembang, Jawa, dan Bugis. “Mereka datang ke Malaysia dan meneruskan kebudayaan mereka dari Indonesia. Apakah salah mereka melestarikan kebudayaan Indonesia. Dan kami tidak pernah mengklaim itu kebudayaan Malaysia. Begitu juga dengan rakyat Malaysia keturunan China dan India, yang menurut Rais Yatim, Mereka masih melestarikan bahasa, budaya, kesenian dan lagu-lagu dari China dan India tapi kedua negara itu tidak pernah protes.” (Kompas.com, 09 September 2009) Bagaimana jika warganegara Suriname yang banyak keturunan Jawa juga menggelarkan seni budaya Jawa-nya, seperti gamelan, dan pemerintah Suriname mengiklankan memasukkan pagelaran musik gamelan tersebut dalam iklan pariwisatanya? *** Sebenarnya, secara tidak langsung Malaysia telah memberi pelajaran kepada kita bagaimana caranya untuk memanfaatkan seni budaya yang kita miliki semaksimal mungkin untuk menarik sebanyak mungkin wisatawan asing, yakni dengan cara melakukan publikasi seni budaya seperti yang sudah lama mereka lakukan.

Antara lain lewat iklan-iklan atau program acara tertentu di beberapa televisi asing, semacam Discovery Channel, yang berpotensi sebagai prasarana penarik minat wisatawan asing ke sini. Dikemas sedemikian rupa supaya kelihatan sangat menarik, dan yang dipromosikan jangan hanya Bali saja, tetapi daerah-daerah lain yang juga mempunyai obyek wisata dan seni budaya yang juga sangat unik. Seperti Papua.

Maka oleh karena itu, sebenarnya sedari dulu ketika Malaysia mengiklankan iklan pariwisatanya dan menggelar pagelaran seni budaya asal Indonesia sebagai bagian dari seni budayanya, Indonesia jangan mau kalah. Jangan hanya bisanya marah-marah saja. Kenapa tidak bertindak dengan membuat iklan balasan yang jauh lebih kreatif, dengan menyertakan aneka seni budaya Indonesia untuk disiarkan di beberapa televisi asing, terutama di televisi-televisi di mana Malaysia menayangkan iklannya di sana. Menunjukkan kepada dunia siapa yang sebenarnya yang asli punya seni budaya itu, sekaligus juga menunjukkan kepada dunia bahwa masih sangat banyak aneka seni budaya yang dimiliki Indonesia,yang belum sempat “dicuri” Malaysia. Ini semua jauh lebih efektif untuk melawan Malaysia ketimbang mmebuang-buang banyak enerji dan bikin tenggorokan sakit gara-gara berteriak-teriak di kala berdemo, memaki Malaysia sebagai Malingsia, Maling Asia, Trully Malingsia, dan sejenisnya.

Apalagi kalau sampai perang benaran. Untuk apa risau ketika Malaysia mementaskan pertunjukan wayang kulit dalam berbagai acara sebagai kesenian Malaysia, kalau toh UNESCO telah mengakui dan mengukuhkan wayang kulit sebagai kesenian dunia berasal dari budaya Indonesia (07November 2003), begitu pula dengan keris yang pernah “diklaim” Malaysia pada 2008, dikukuhkan UNESCO sebagai kesenian dunia berasal dari budaya Indonesia (2005), dan terakhir pengukuhan yang sama pada seni budaya batik (”klaim” Malaysia pada 2006) sebagai karya seni asal Indonesia (07 September 2009).

Pengakuan-pengakuan tersebut seharusnya merupakan modal yang sangat kuat untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi Indonesia untuk mempromosikan karya seni budayanya yang tak ternilai harganya itu. Tentu saja semua itu harus diikuti dengan langkah yang kongkrit berupa menciptakan momen dan potensi penonton wisatawan asing, peningkatan frekwensi pagelaran-pagelaran seni budaya tersebut sedemikian rupa sehingga benar-benar menarik untuk disaksikan. Bukan hanya menarik di iklannya saja. Kalau mau beri pelajaran Malaysia, ciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya di negeri sendiri, supaya tidak ada lagi orang Indonesia (TKI) yang dikirim ke sana.

Biar negara itu kalang-kabut sendiri. Selama Indonesia masih terus (dengan bangga) mengekspor TKI ke beberapa negara, termasuk dan terutama Malaysia dalam kasus hubungan kedua negara. Maka ini juga merupakan suatu bahan Malaysia yang memandang remeh Indonesia, yang dianggapnya hanya bisa mengirim tenaga pembantu, buruh kasar ke negeranya. *** Salah satu tudingan yang diarahkan ke Malaysia adalah bahwa lagu kebangsaan negara tersebut, Negaraku, adalah hasil jiplakan dari lagu asli Indonesia, Terang Bulan.Bahkan tiba-tiba ada yang mengaku sebagai ahli waris dari lagu Terang Bulan, yang diciptakan oleh ayahnya. Aden Bahri, orang itu, menghubungi pihak Perum Lokananta di Solo, Jawa Tengah. Ia mengklaim, Terang Bulan merupakan ciptaan Syaiful Bahri, ayahnya. Lokananta adalah perusahan rekaman milik negara yang pertama kali merekam lagu tersebut pada tahun 1956. Meskipun atas pengakuan tersebut masih memerlukan klarifikasi, Kepala Perum Lokananta Solo, Ruktiningsih, membenarkan bahwa Terang Bulan adalah asli milik Indonesia, oleh karena itu, “Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk memakai lagu tersebut termasuk dengan mengubahnya, semua pihak perlu melalui tahap-tahap tertentu dan tidak bisa seenaknya mengubah lirik atau temponya,” katanya. (kapanlagi.com, 31 Agustus 2009).

Reaksi ini sekali lagi membuktikan bahwa bagaimana perilaku bangsa ini yang sangat kurang menghargai seni budaya sendiri. Bagaimana tidak terasa aneh, kenapa baru sekarang klaim ini dikemukakan. Padahal Negaraku, yang dituding sebagai hasil jiplakan dari lagu Terang Bulan, sudah sejak tahun 1957 telah dijadikan sebagai lagu kebangsaan Malaysia. Setelah 52 tahun kok baru sadar dan bereaksi sekarang? Sudah begitu, ternyata salah lagi. Ternyata Terang Bulan bukan asli karya bangsa Indonesia. Ditilik dari sejarahnya, ternyata lagu ini asal-muasalnya atau adaptasi dari sebuah lagu yang populer berjudul La Rosalie, dari Perancis. Wikipedia menulis: Terang Bulan merupakan sebuah lagu adaptasi dari sebuah lagu yang populer berjudul La Rosalie, pada akhir abad 19 di wilayah jajahan Perancis, sekitar lautan Hindia. La Rosalie digubah oleh Pierre-Jean de Béranger (1780-1857), seorang musisi berkebangsaan Perancis.

Lagu tersebut kemudian menjadi melodi yang sangat terkenal dan menjadi lebih populer pada wilayah pulau Mahé di Seychelles. Popularitas lagu tersebut sampai melintasi lautan Hindia dan mencapai wilayah Kepulauan Melayu pada awal abad 20. Pada tahun 1888, lagu tersebut digunakan sebagai lagu kebangsaan negara bagian Perak, Allah Lanjutkan Usia Sultan, selama masa pendudukan Raja Edward VII. Nada yang sama kemudian diperkenalkan oleh “Indonesian Bangsawan” (Opera), yang sedang mengadakan pementasan di Singapura pada tahun 1920. Dengan serta-merta, melodi tersebut kemudian menjadi sangat terkenal dan kemudian dinamai Terang Bulan.

Terpisah dari perannya sebagai lagu kebangsaan negara bagian Perak, Terang Bulan dengan segera menjadi lagu tembang “evergreen”, yang sering ditampilkan pada pesta-pesta, kabaret-kabaret, dan dinyanyikan oleh begitu banyak orang pada tahun 1920-an hingga 1930-an. (Namun setelah kemerdekaan Malaysia dari Inggris pada 1957 dan lagu Allah Lanjutkan Usia Sultan diadaptasi sebagai lagu kebangsaan negara Malaysia dengan judul Negaraku, lagu tersebut tidak dimainkan secara bebas lagi dan penggunaannya telah diatur oleh undang-undang.) Lagu Terang Bulan juga diadaptasi menjadi sebuah lagu bernuansa Hawaii, Mamula Moon pada tahun 1947 oleh band “Felix Mendelssohn and his Hawaiian Serenaders”.
Lagu-lagu La Rosalie, Allah Lanjutkan Usia Sultan, Negaraku, Terang Bulan dan Mamula Moon semua memiliki nada yang sama

Untuk mendengarkan lagu Terang Bulan, Negaraku, dan Mamula Moon, silakan klik ini: Dari persoalan lagu Terang Bulan dan Negaraku ini, maka terlihatlah bahwa justru orang Indonesia sendirilah yang dengan terang-terangan mengklaim suatu karya cipta seni budaya sebagai hasil karyanya, sebagai haknya, padahal sebenarnya bukan.

Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada kasus ini, sudah banyak sekali kasus serupa yang masih berlangsung sampai sekarang banyaknya orang Indonesia yang justru tanpa malu-malu mengklaim sebuah karya cipta seni budaya sebagai karya ciptanya. Padahal semua itu hasil jiplakan. Ketika ketahuan, masih berkelit bahwa itu bagian dari suatu kreatifitas.

Mungkin juga betul, kalau yang dimaksud adalah kreatifitas maling hak cipta. Sudah ratusan lagu, film, sinetron, dan sejenisnya, termasuk desain-desain poster/gambar film dijiplak mentah-mentah oleh para maling hak cipta Indonesia. Ironisnya semua itu berlangsung seperti sesuatu yang wajar. Bahkan media-media legal di Indonesia, seperti bioskop-bioskop dan televisi-televisi seolah tanpa dosa dengan bangga menyebarluaskan karya cipta hasil para maling “kreatif” tersebut. Belum lagi dengan software komputer bajakan, buku bajakan, CD musik bajakan, DVD bajakan, dan sejenisnya, yang dijual bebas sampai di mal-mal. Indonesia selama bertahun-tahun berada di urutan atas negara-negara yang paling banyak melakukan pelanggaran hak cipta atau Hak kekayaan Intelektual (HaKI). UU Hak Cipta yang berlaku tidak lebih dari pajangan saja. Silakan simak informasi tentang kreasi para maling Indonesia, yang mencuri hak cipta seni dan budaya asing dan kemudian mengklaim sebagai hasil karyanya, yang disampaikan dalam blog ini: Tidak ada yang protes.

Yang punya hak cipta dari luar negeri mungkin merasa akan sia-sia untuk protes apalagi sampai menuntut secara hukum saking banyaknya pencurian tersebut dilakukan, dan didukung oleh media bioskop dan televisi resmi Indonesia sebagai prasarananya itu. Bagaimana respon mereka yang penuh semangat meneriaki Malaysia sebagai bangsa maling, kalau disodorkan fakta di atas? Maaf, kalau saya menduga keras bahwa sebagian besar dari para pemrotes, para pendemo, yang memaki-maki Malaysia sebagai maling seni budaya, justru adalah pengguna produk-produk hasil maling hak cipta yang dimaksudkan di atas. Di komputernya yang digunakansoftware bajakan, kalau beli DVD, banyak yang beli atau nonton DVD bajakan.

*** Kalau lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku, dituding sebagai hasil jiplakan dari laguTerang Bulan karya asli Indonesia, yang ternyata terbukti tidak benar, bagaimana dengan lagu kebangsaan kita sendiri, Indonesia Raya? Remy Sylado, pernah menulis di Kompas di tahun 1991, bahwa Indonesia Raya yang kita kena sebagai lagu kebangsaan kita itu sudah populer sejak abad ke-18 hingga tahun 1930-an. Aslinya dari sebuah lagu bercorak jazz klasik, tegolong hot jazz. Judulnya:Lekka-Lekka, Pinda-Pinda dari Negeri Belanda. Tetapi pada tahun 1927 lagu itu direkam dalam piringan hitam menjadi Indonees-Indoness. Lantas, pada 28 Oktober 1928 dalam kongres pemuda di Jakarta diubah menjadi Indonesia Raya. Penggubah lagu yang dimaksud adalah pemimpin band jazz di Makassar pada 1920. Siapa lagi kalau bukan Wage Rudolf Supratman,” tulis Remy. Tulisan Remy Silado mendapat sanggahan dari Kaye A. Solapung, pengamat musik. DiKompas, 22 Desember 1991, Solapung mengatakan bahwa Remy hanya sekadar mengulang tuduhan Amir Pasaribu pada 1950-an. (Selengkapnya baca di blog ini: ). Apakah benar Indonesia Raya merupakan jiplakan dari Lekka-Lekka, Pinda-Pinda? Saya sendiri tidak paham soal musik, pembaca yang lebih berkompeten mungkin bisa memberi pendapatnya di sini. Sebelumnya baca juga sebagian polemik antara Remy dengan Kaye, yang dimuat di blog tersebut di atas. Selain Indonesia Raya, Remy juga mengatakan bahwa lagu Ibu Kita Kartini ciptaan W.R. Soepratman sejatinya hasil jiplakan dari lagu daerah asal Minahasa yang berjudul O Ina Ni Keke, dan Bolelebo, lagu rakyat Timor.Untuk membandingkan lagu Indonesia Raya vs Lekka-Lekka, Pinda-Pinda, silakan klik ini: Untuk mendengar lagu O Ina Ni keke, silakan klik ini: Untuk mendengar lagu Bolelebo, silakan klik ini: *** Jadi, sekarang bagaimana? Sebaiknya (untuk sementara), mereka yang masih melakukan demo anti-Malaysia, tudingan-tudingan bangsa maling, seruan putus hubungan diplomatik dan perang dengan Malaysia, termasuk yang melakukan sweeping hendaknya menarik diri untuk melakukan perenungan yang mendalam sebelum bertindak lagi. SEKIAN.