Bandung - Orang ramai membicarakan tender Wimax. Namun permasalahan yang krusial justru terabaikan. Masalah perizinan menara seluler di daerah belum tuntas benar walaupun sudah ada SKB 4 menteri.
Demikian dikatakan oleh Chief of Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Dimitri Mahayana saat berbincang dengan detikINET, Rabu (6/5/2009) siang. Menurutnya di daerah belum ada regulasi yang jelas.
"Jangan sampai kita ramai bicarakan tentang tender, tapi ternyata nantinya tidak bisa bangun menaranya karena tersangkut masalah perizinan," paparnya.
Hal tersebut, imbuhnya, dikarenakan ulah operator seluler dinilai kurang terlibat dalam pengurusan menara. Sehingga konflik sosial terkait menara terus terjadi. Situasi ini membuat masalah menara menjadi semakin tidak jelas ujungnya.
Pemda pun akhirnya beramai-ramai membuat perda terkait menara. Seperti Perwal Kota Makassar No.19/2006, Pergub DKI Jakarta No.89/2006, Perda Kab. Tasik No.22/2007. Mereka membuat peraturan daerah dan kadang tanpa melibatkan operator," ungkapnya.
Tak sampai disitu, regulasi ini bertambah rumit ketika Surat Keputusan Bersama terkait menara bersama dari 4 Menteri (Menkominfo, Mendagri, Menteri PU, dan Kepala BKPM) ternyata belum mampu mengakomodir semua kepentingan pemda.
Di sisi lain, tak bisa dipungkiri, ada oknum aparat memanfaatkan situasi perizinan yang status quo ini, sehingga masalah menjadi semakin kompleks," tutur pria yang juga dosen Teknik Elektro ITB ini.
Situasi ini menunjukan bahwa izin mendirikan menara di seluruh wilayah Indonesia relatif sulit diperoleh operator telekomunikasi ataupun penyelenggara jasa Internet.
Padahal, tipilogi BTS Wimax memerlukan menara yang baru, yang bentuknya lebih tinggi. Sebab cakupan layanan ini lebih luas, minimal radius 30 km, sehingga perlu membangun yang baru. Celakanya tidak ada pembedaan antara menara GSM, CDMA ataupun Wimax. Dalam perda hanya menyebutkan menara tanpa merincinya," pungkasnya.