TEKNOLOGI informasi rupanya sangat memikat Mochtar Riady. Pendiri imperium bisnis Lippo itu mengaku sudah lama menaruh perhatian pada industri ini. ”Bisnis ini termasuk varian yang paling ketat dan paling berkembang di masa depan,” ujarnya kepada TRUST, beberapa waktu silam. Mochtar sebelumnya membaca The Future Shock dan The Third Wave karya Alvin Tofler, Megatrend (John Naisbitt), serta Post-Capitalist Society (Peter Drucker). ”Buku-buku itu memberi petunjuk bahwa dunia telah mengalami revolusi teknologi.”
Mungkin Mochtar tak mau tergilas oleh revolusi itu. Grup Lippo pun membuat gebrakan. Pekan silam, secarik iklan dimuat di beberapa media cetak nasional. Di sana ada tawaran akses internet dengan harga amat murah. Bayangkan. Untuk berselancar di ranah maya secara unlimited, cukup membayar Rp 99 ribu per bulan. Kecepatannya juga lumayan, yakni 384 kilobit per detik (kbps). Iklan itu datang dari PT First Media, anak usaha Across Asia di Hong Kong—salah satu unit bisnis Lippo.
Roberto F. Feliciano, Chief Executive Officer First Media, menuturkan, Lippo menyediakan US$ 650 juta atau (sekitar Rp 6 triliun) untuk mengembangkan bisnis multimedianya. Dana itu berasal dari kas Lippo Group sendiri ditambah hasil penerbitan obligasi dan tambahan investasi pemodal asing.
Mungkin Mochtar tak mau tergilas oleh revolusi itu. Grup Lippo pun membuat gebrakan. Pekan silam, secarik iklan dimuat di beberapa media cetak nasional. Di sana ada tawaran akses internet dengan harga amat murah. Bayangkan. Untuk berselancar di ranah maya secara unlimited, cukup membayar Rp 99 ribu per bulan. Kecepatannya juga lumayan, yakni 384 kilobit per detik (kbps). Iklan itu datang dari PT First Media, anak usaha Across Asia di Hong Kong—salah satu unit bisnis Lippo.
Roberto F. Feliciano, Chief Executive Officer First Media, menuturkan, Lippo menyediakan US$ 650 juta atau (sekitar Rp 6 triliun) untuk mengembangkan bisnis multimedianya. Dana itu berasal dari kas Lippo Group sendiri ditambah hasil penerbitan obligasi dan tambahan investasi pemodal asing.
Thomas Wibisono dari Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) menduga, duit yang dipakai Lippo untuk menggelontori First Media, sebagian, berasal dari penjualan saham Lippo di PT Natrindo Telepon Seluler (NTS). Sebelumnya, Lippo memang bermain bisnis seluler. Kelompok usaha ini memiliki 100% saham NTS. Perusahaan itu sudah beroperasi sejak Mei 2001 di Jawa Timur. Merek dagangnya Lippo Telecom dan pelanggannya mencapai 100 ribu orang, lalu mengempis jadi 10 ribu orang.
Penurunan itu akibat layanan NTS hanya di satu provinsi saja—menyusul kebijakan pemerintah mengembangkan konsep regional bagi layanan seluler GSM 1.800. Ketika para pesaingnya mendapat lisensi nasional, NTS kelabakan, sehingga merugi US$ 20 juta. Tahun 2004, NTS mendapat lisensi seluler 3G. Gara-gara merugi, NTS tak sempat mengembangkan bisnisnya.
Di awal 2005, sebanyak 51% saham NTS dibeli Maxis Communications Bhd. dari Malaysia seharga US$ 100 juta. Namun, Maret 2006, pemerintah menetapkan bahwa pemegang lisensi 3G—termasuk NTS—harus membayar up front fee Rp 320 miliar. Lalu, ada biaya hak penggunaan frekuensi tahun pertama Rp 32 miliar.
Alhasil, NTS harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Lippo mungkin gerah dengan bisnis seluler. Lalu, mereka menjual lagi 44% sahamnya di NTS kepada Maxis seharga US$ 123,9 juta. Total saham yang dimiliki Maxis sebesar 95% dan total dana yang diterima Lippo sebanyak US$ 223,9 juta atau sekitar Rp 2 triliun. Belakangan, Maxis menjual 51% saham NTS kepada Saudi Telecom asal Saudi Arabia.
Kini, Lippo tampaknya sudah serius berbisnis multimedia. Tawaran First Media dalam iklan tadi juga cepat menarik minat para penggila internet lantaran amat murah. Sayang, layanan internet First Media baru ada di Surabaya dan Jabodetabek.
O ya, First Media ini juga bukan perusahaan baru. First Media adalah jelmaan PT Broadband Multimedia—yang menjadi operator TV berlangganan merek Kabelvision dan Digital-1. PT Broadband juga memiliki 100% saham PT Ayunda Prima Mitra—yang menguasai 49% saham PT Direct Vision (DV). Pemegang 51% saham DV lainnya adalah gergasi telekomunikasi asal Malaysia, Astro Group. DV menggelar tayangan Astro Indonesia di Tanah Air. Belakangan, saham Ayunda di DV naik menjadi 80% dan Astro tinggal 20%.
Selain itu, PT Broadband juga menyediakan layanan jasa internet bermerek MyNet. Jaringan MyNet memakai jaringan kabel serat optik yang dimiliki oleh PT Broadband.
Di pasaran, produk-produk PT Broadband kurang bergema. Layanan teve berlangganannya yang berbasis kabel masih kelabakan menghadapi gempuran Indovision (yang berbasis satelit) dan bahkan Astro Indonesia.
MyNet juga megap-megap bersaing dengan Speedy dan Telkomnet Instan, milik Telkom. PT Broadband juga masih memiliki portal lippostar.com dan situs belanja online lipposhop. com. Sayang, dua-duanya kini mati suri.
FASTNET BERANI BANTING HARGA
Boleh jadi Lippo merasa perlu melakukan penyegaran dalam bisnis multimedianya itu. Digantilah nama PT Broadband Multimedia menjadi First Media. Perubahan itu sudah dilaporkan kepada otoritas bursa sejak pertengahan Juli lalu. Broadband memang sudah listed di bursa.
Produk layanan akses internet juga dikemas ulang. MyNet diganti namanya menjadi Fastnet dan—ya itu tadi—diiklankan besar-besaran dalam sejumlah koran nasional. Selain menawarkan layanan akses internet berkecepatan 384 kbps, Fastnet juga menawarkan layanan 512 kbps seharga Rp 195 ribu, 768 kbps (Rp 295 ribu), 1.500 kbps (Rp 595 ribu) dan 3.000 kbps (Rp 1,2 juta).
Pelanggan 384 kbps dan 512 kbps diwajibkan membeli modem sendiri. Harga modem itu sekitar Rp 500 ribuan. Pelanggan yang memilih akses berkecepatan lebih tinggi, akan diberikan modem secara cuma-cuma oleh First Media. Menarik, memang.
Roberto Feliciano menuturkan, First Media tak akan berhenti hingga layanan akses internet. Investasi senilai Rp 6 triliun tadi juga akan dipakai untuk mengembangkan sarana nirkabel, komunikasi data, dan belanja melalui media, hingga empat tahun ke depan. Layanan Kabelvision dan Digital-1 juga bakal dibenahi. ”Kami akan sediakan jaringan broadband yang menjangkau hingga sambungan akhir,” katanya.
Hingga 2009, First Media menargetkan mampu menggaet sejuta pelanggan internet dan TV berlangganan. ”Sampai 2009, kami akan memusatkan layanan untuk Surabaya dan Jakarta. Setelah itu akan diperluas ke kota-kota lain di Indonesia,” tambah Roberto.
Selain langsung mengecer kepada pelanggan rumahan, First Media juga menyasar perusahaan penyedia jasa internet (internet service provider/ISP). First Media akan menjual bandwidth-nya kepada ISP untuk melayani pelanggan internet di perumahan atau korporat. First Media sendiri memiliki anak perusahaan bernama LinkNet yang juga berbisnis ISP.
Pengamat telekomunikasi, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, menyambut gembira tarif murah yang diusung Fastnet. Bahkan, ia mengaku rela mempromosikannya kepada orang banyak. ”Asal, kualitasnya juga bagus,” katanya.
Eddy Kurnia, VP Public and Marketing Communication Telkom, juga menyambut baik hadirnya Fastnet. Eddy mengaku tak takut Fastnet akan mengganggu Speedy. Ia bilang, kompetisi itu perlu. Yang jelas, ujarnya, Speedy telah memiliki 170 ribu pelanggan. Hingga akhir tahun ini, Speedy bertekad memiliki 385 ribu pelanggan. Jangkauan Speedy juga sudah melebihi 30 kota besar di Indonesia. Di kelas broadband access, Speedy unggul dengan penetrasi pasar sebesar 70%.
PASAR MULTIMEDIA MASIH MENJANJIKAN
Selain itu, Telkom juga memiliki Telkomnet Instan yang bisa digunakan oleh semua pemilik pesawat telepon tetap milik Telkom. Namun, untuk layanan TV berlangganan Telkomvision, Eddy mengakui, penetrasi bisnisnya belum oke. Masih di bawah Kabelvison milik First Media. Eddy menerangkan, Telkom sudah meng-upgrade teknologi Telkomvision, Juli lalu. Sekarang pelanggan Telkomvision mencapai 40 ribu orang. Akhir tahun ini Telkom mematok jumlah 120 ribu pelanggan.
First Media tentu tak akan tinggal diam. Roberto Feliciano menegaskan, bisnis TV berlangganan dan internet akan dikembangkan secara simultan. Toh, pasar multimedia memang masih menjanjikan. Berdasarkan laporan Global Entertainment Media Outlook 2005-2009 yang dikeluarkan International Consulting Firm, industri hiburan dan media global akan berkembang hingga US$ 1,8 triliun dalam beberapa tahun mendatang. Dan broadband akan menjadi penggerak terpenting dari aksi belanja konsumen untuk memperoleh akses.
Di Indonesia, penetrasi komputer dan internet masih rendah. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pengguna internet baru mencapai 25 juta, sedangkan penetrasi komputer baru mencapai enam juta. Jangan salah, tren pertumbuhan pengguna jasa internet dan komputer mencapai 25% per tahun. Jika perekonomian nasional membaik, bisa dipastikan pertumbuhan itu akan semakin pesat nantinya.
Di awal 2007 perbaikan itu juga sudah terlihat. Dulu, satu perusahaan paling banter hanya memiliki satu internet protocol (IP) address. Kini, banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki lebih dari satu IP address. Jumlah IP address di Indonesia sekarang telah mencapai 600.
Gairah berinternet juga bisa dilihat dari penggunaan domain dotcom dan dot id di Indonesia. Kini, banyak korporasi yang memakai domain sendiri. Setiap tahun jumlah domain selalu meningkat dan kini telah mencapai 6.000 domain.
Daftar keanggotaan APJII terus mengalami kenaikan. Tahun 2006, jumlah anggota APJII cuma 150 dan yang aktif hanya 50 anggota. Kini, jumlah anggota sudah 245 dan yang aktif sekitar 150 perusahaan. ”Yang dulunya tidak aktif, kini mulai aktif kembali, terutama yang di daerah,” kata Silvia W. Sumarlin, Ketua APJII.
Makanya, Silvia menilai, potensi First Media sangat besar. Apalagi, internet provider (ISP) di daerah sangat membutuhkan serat optik untuk memperlancar usahanya. Nah, sekarang ini, jaringan hybrid fiber coaxial milik First Media merupakan jaringan terbesar di Indonesia. Saingan First Media yang menjadi penyuplai broadband di Indonesia hanyalah Indosat, Telkom, dan Biznet.
Di atas kertas prospek broadband memang oke. Tapi, perkembangan teknologi 3G dan Wimax juga perlu dipantau. Teknologi 3G dan Wimax yang tanpa kabel juga bisa dipakai untuk berkelana di dunia maya. ”Semakin ke sini, kecepatan kedua teknologi itu semakin tinggi,” ucap Heru Sutadi, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Ya, seperti kata Mochtar Riady di awal tadi, bisnis ini memang termasuk varian yang paling ketat.
Penurunan itu akibat layanan NTS hanya di satu provinsi saja—menyusul kebijakan pemerintah mengembangkan konsep regional bagi layanan seluler GSM 1.800. Ketika para pesaingnya mendapat lisensi nasional, NTS kelabakan, sehingga merugi US$ 20 juta. Tahun 2004, NTS mendapat lisensi seluler 3G. Gara-gara merugi, NTS tak sempat mengembangkan bisnisnya.
Di awal 2005, sebanyak 51% saham NTS dibeli Maxis Communications Bhd. dari Malaysia seharga US$ 100 juta. Namun, Maret 2006, pemerintah menetapkan bahwa pemegang lisensi 3G—termasuk NTS—harus membayar up front fee Rp 320 miliar. Lalu, ada biaya hak penggunaan frekuensi tahun pertama Rp 32 miliar.
Alhasil, NTS harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Lippo mungkin gerah dengan bisnis seluler. Lalu, mereka menjual lagi 44% sahamnya di NTS kepada Maxis seharga US$ 123,9 juta. Total saham yang dimiliki Maxis sebesar 95% dan total dana yang diterima Lippo sebanyak US$ 223,9 juta atau sekitar Rp 2 triliun. Belakangan, Maxis menjual 51% saham NTS kepada Saudi Telecom asal Saudi Arabia.
Kini, Lippo tampaknya sudah serius berbisnis multimedia. Tawaran First Media dalam iklan tadi juga cepat menarik minat para penggila internet lantaran amat murah. Sayang, layanan internet First Media baru ada di Surabaya dan Jabodetabek.
O ya, First Media ini juga bukan perusahaan baru. First Media adalah jelmaan PT Broadband Multimedia—yang menjadi operator TV berlangganan merek Kabelvision dan Digital-1. PT Broadband juga memiliki 100% saham PT Ayunda Prima Mitra—yang menguasai 49% saham PT Direct Vision (DV). Pemegang 51% saham DV lainnya adalah gergasi telekomunikasi asal Malaysia, Astro Group. DV menggelar tayangan Astro Indonesia di Tanah Air. Belakangan, saham Ayunda di DV naik menjadi 80% dan Astro tinggal 20%.
Selain itu, PT Broadband juga menyediakan layanan jasa internet bermerek MyNet. Jaringan MyNet memakai jaringan kabel serat optik yang dimiliki oleh PT Broadband.
Di pasaran, produk-produk PT Broadband kurang bergema. Layanan teve berlangganannya yang berbasis kabel masih kelabakan menghadapi gempuran Indovision (yang berbasis satelit) dan bahkan Astro Indonesia.
MyNet juga megap-megap bersaing dengan Speedy dan Telkomnet Instan, milik Telkom. PT Broadband juga masih memiliki portal lippostar.com dan situs belanja online lipposhop. com. Sayang, dua-duanya kini mati suri.
FASTNET BERANI BANTING HARGA
Boleh jadi Lippo merasa perlu melakukan penyegaran dalam bisnis multimedianya itu. Digantilah nama PT Broadband Multimedia menjadi First Media. Perubahan itu sudah dilaporkan kepada otoritas bursa sejak pertengahan Juli lalu. Broadband memang sudah listed di bursa.
Produk layanan akses internet juga dikemas ulang. MyNet diganti namanya menjadi Fastnet dan—ya itu tadi—diiklankan besar-besaran dalam sejumlah koran nasional. Selain menawarkan layanan akses internet berkecepatan 384 kbps, Fastnet juga menawarkan layanan 512 kbps seharga Rp 195 ribu, 768 kbps (Rp 295 ribu), 1.500 kbps (Rp 595 ribu) dan 3.000 kbps (Rp 1,2 juta).
Pelanggan 384 kbps dan 512 kbps diwajibkan membeli modem sendiri. Harga modem itu sekitar Rp 500 ribuan. Pelanggan yang memilih akses berkecepatan lebih tinggi, akan diberikan modem secara cuma-cuma oleh First Media. Menarik, memang.
Roberto Feliciano menuturkan, First Media tak akan berhenti hingga layanan akses internet. Investasi senilai Rp 6 triliun tadi juga akan dipakai untuk mengembangkan sarana nirkabel, komunikasi data, dan belanja melalui media, hingga empat tahun ke depan. Layanan Kabelvision dan Digital-1 juga bakal dibenahi. ”Kami akan sediakan jaringan broadband yang menjangkau hingga sambungan akhir,” katanya.
Hingga 2009, First Media menargetkan mampu menggaet sejuta pelanggan internet dan TV berlangganan. ”Sampai 2009, kami akan memusatkan layanan untuk Surabaya dan Jakarta. Setelah itu akan diperluas ke kota-kota lain di Indonesia,” tambah Roberto.
Selain langsung mengecer kepada pelanggan rumahan, First Media juga menyasar perusahaan penyedia jasa internet (internet service provider/ISP). First Media akan menjual bandwidth-nya kepada ISP untuk melayani pelanggan internet di perumahan atau korporat. First Media sendiri memiliki anak perusahaan bernama LinkNet yang juga berbisnis ISP.
Pengamat telekomunikasi, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, menyambut gembira tarif murah yang diusung Fastnet. Bahkan, ia mengaku rela mempromosikannya kepada orang banyak. ”Asal, kualitasnya juga bagus,” katanya.
Eddy Kurnia, VP Public and Marketing Communication Telkom, juga menyambut baik hadirnya Fastnet. Eddy mengaku tak takut Fastnet akan mengganggu Speedy. Ia bilang, kompetisi itu perlu. Yang jelas, ujarnya, Speedy telah memiliki 170 ribu pelanggan. Hingga akhir tahun ini, Speedy bertekad memiliki 385 ribu pelanggan. Jangkauan Speedy juga sudah melebihi 30 kota besar di Indonesia. Di kelas broadband access, Speedy unggul dengan penetrasi pasar sebesar 70%.
PASAR MULTIMEDIA MASIH MENJANJIKAN
Selain itu, Telkom juga memiliki Telkomnet Instan yang bisa digunakan oleh semua pemilik pesawat telepon tetap milik Telkom. Namun, untuk layanan TV berlangganan Telkomvision, Eddy mengakui, penetrasi bisnisnya belum oke. Masih di bawah Kabelvison milik First Media. Eddy menerangkan, Telkom sudah meng-upgrade teknologi Telkomvision, Juli lalu. Sekarang pelanggan Telkomvision mencapai 40 ribu orang. Akhir tahun ini Telkom mematok jumlah 120 ribu pelanggan.
First Media tentu tak akan tinggal diam. Roberto Feliciano menegaskan, bisnis TV berlangganan dan internet akan dikembangkan secara simultan. Toh, pasar multimedia memang masih menjanjikan. Berdasarkan laporan Global Entertainment Media Outlook 2005-2009 yang dikeluarkan International Consulting Firm, industri hiburan dan media global akan berkembang hingga US$ 1,8 triliun dalam beberapa tahun mendatang. Dan broadband akan menjadi penggerak terpenting dari aksi belanja konsumen untuk memperoleh akses.
Di Indonesia, penetrasi komputer dan internet masih rendah. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pengguna internet baru mencapai 25 juta, sedangkan penetrasi komputer baru mencapai enam juta. Jangan salah, tren pertumbuhan pengguna jasa internet dan komputer mencapai 25% per tahun. Jika perekonomian nasional membaik, bisa dipastikan pertumbuhan itu akan semakin pesat nantinya.
Di awal 2007 perbaikan itu juga sudah terlihat. Dulu, satu perusahaan paling banter hanya memiliki satu internet protocol (IP) address. Kini, banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki lebih dari satu IP address. Jumlah IP address di Indonesia sekarang telah mencapai 600.
Gairah berinternet juga bisa dilihat dari penggunaan domain dotcom dan dot id di Indonesia. Kini, banyak korporasi yang memakai domain sendiri. Setiap tahun jumlah domain selalu meningkat dan kini telah mencapai 6.000 domain.
Daftar keanggotaan APJII terus mengalami kenaikan. Tahun 2006, jumlah anggota APJII cuma 150 dan yang aktif hanya 50 anggota. Kini, jumlah anggota sudah 245 dan yang aktif sekitar 150 perusahaan. ”Yang dulunya tidak aktif, kini mulai aktif kembali, terutama yang di daerah,” kata Silvia W. Sumarlin, Ketua APJII.
Makanya, Silvia menilai, potensi First Media sangat besar. Apalagi, internet provider (ISP) di daerah sangat membutuhkan serat optik untuk memperlancar usahanya. Nah, sekarang ini, jaringan hybrid fiber coaxial milik First Media merupakan jaringan terbesar di Indonesia. Saingan First Media yang menjadi penyuplai broadband di Indonesia hanyalah Indosat, Telkom, dan Biznet.
Di atas kertas prospek broadband memang oke. Tapi, perkembangan teknologi 3G dan Wimax juga perlu dipantau. Teknologi 3G dan Wimax yang tanpa kabel juga bisa dipakai untuk berkelana di dunia maya. ”Semakin ke sini, kecepatan kedua teknologi itu semakin tinggi,” ucap Heru Sutadi, anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Ya, seperti kata Mochtar Riady di awal tadi, bisnis ini memang termasuk varian yang paling ketat.